Langsung ke konten utama

MANAJEMEN MUTU PELAYANAN

2.1 Pengertian Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan

Menurut Malayu S.P.Hasibuan (2008) manajemen merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Andrew F. Sikula (dalam buku Malayu S.P.Hasibuan, 2008) manajemen pada umumnya dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, penempatan, pengarahan, pemotivasian, komunikasi dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi dengan tujuan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sehingga akan dihasilkan suatu produk atau jasa secara efisien.
Menurut Kotler (dalam buku Fajar Laksana, 2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikannya apapun produksinya dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.
Manajemen mutu merupakan sistem manajemen yang berfokus pada orang/karyawan dan bertujuan untuk terus-menerus meningkatkan nilai yang diberikan pada pelanggan dengan biaya pencipataan nilai yang lebih rendah (Mulyadi, 2013).
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaranya sesuai dengan standar kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar,1996 dalam Mulyadi, 2013).
Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif dalam keterbatasan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan norma dan etika yang baik. Menurut Kemenkes RI (dalam buku A.A. Gde Muninjaya, 2011 : 19) mutu pelayanan kesehatan yang meliputi kinerja yang menunjukan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.
Komponen utama dalam manajemen mutu pelayanan (Goetsch dan Davis, 1994 : 14-18) (dalam buku M.N Nasution, 2001), sebagai berikut :
1.             Fokus pada pelanggan
Dalam manajemen mutu pelayanan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal merupakan driver (penentu). Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk dan jasa.
2.             Obsesi terhadap kualitas
Dalam organisasi yang menerapkan manajemen mutu pelayanan, pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas. Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan mereka. Hal ini berarti bahwa semua karyawan pada setiap level berusaha melaksanakan setiap aspek pekerjaannya berdasarkan perspektif.
3.             Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan manajemen mutu pelayanan, terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut. Dengan demikian data yang diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga (bench-mark) memantai prestasi dan melaksanakan perbaikan.
4.             Komitmen Jangka Panjang
Manjemen mutu pelayanan merupakan suatu paradigma baru dalam melaksanakan bisnis, untuk itu dibutuhkan budaya perusahaan yang baru pula. Oleh karena itu, komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan manajemen mutu pelayanan dapat berjalan dengan sukses.
5.             Kerjasama Tim (Team Work)
Dalam organisasi yang dikelola secara tradisional sering kali diciptakan persaingan antar departemen yang ada dalam organisasi tersebut agar daya saingnya terdongkrak. Akan tetapi, persaingan internal tersebut cenderung hanya menggunakan dan menghabiskan energi yang seharusnya dipusaktkan pada upaya perbaikan kualitas, yang pada gilirannya untuk meningkatkan daya saing perusahaan pada lingkungan eksternal. Sementara itu dalam organisasi yang menerapkan manajemen mutu pelayanan, kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina, baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sekitarnya.
6.             Perbaikan Sistem secara berkesinambungan
Setiap produk dan atau jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses – proses tertentu didalam suatu sistem / lingkungan. Oleh karena itu, sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat.
7.             Pendidikan dan Pelatihan
Dewasa ini masih terdapat perusahaan yang menutup mata terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan karyawan. Mereka beranggapan bahwa perusahaan bukanlah sekolah yang diperlukan adalah tenaga terampil siap pakai. Jadi, perusahaan-perusahaan seperti itu hanya akan memberikan pelatihan sekedarnya kepada para karyawannya. Kondisi seperti itu menyebabkan perusahaan yang bersangkutan tidak berkembang dan sulit bersaing dengan perusahaan lainnya apalagi dalam era persaingan global. Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
8.             Kebebasan yang Terkendali
Dalam keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan ‘rasa memiliki’ dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu, unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pembedayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. Pengendalian itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode pelaksanaan setiap proses tertentu. Dalam hal ini karyawan melakukan standardisasi proses dan mereka pula yang berusaha mencari cara untuk menyakinkan setiap orang agar bersedia mengikuti prosedur standar tersebut.
9.        Kesatuan Tujuan
Agar Manajemen mutu pelayanan dapat diterapkan dengan baik, maka perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Akan tetapi kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus selalu ada persetujuan/kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan, misalnya mengenai upah dan kondisi kerja.
10.         Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan manajemen mutu pelayanan. Usaha untuk melibatkan karyawan membawa 2 manfaat utama. Pertama, hal ini akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan ‘rasa memiliki’ dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan, tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang berarti. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun pekerjaan yang memungkinkan para karyawan untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan proses pekerjaannya dalam parameter yang ditetapkan dengan jelas.

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang berikut:
1.      Sudut pandang pasien dan masyarakat
Kualitas pelayanan berarti suatu rasa empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya.
2.      Sudut pandang petugas kesehatan
Kualitas pelayanan berarti melakukan segala sesuatu yang tepat untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat.
3.      Sudut pandang manajer atau administrator
Kualitas pelayanan berarti apabila memiliki tenaga professional yang berkualitas dan cukup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan menurut Azwar, 1994) adalah unsur masukan, lingkungan dan proses.
1.      Unsur Masukan
Unsur masukan meliputi sumber daya manusia, dana dan sarana. Jika sumber daya manusia dan sarana tidak sesuai dengan standar dan kebutuhan, maka pelayanan kesehatan akan kurang bermutu. Upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan diperlukan sumber daya manusia yang profesional (SDM) dan peningkatan fasilitas kesehatan (Muninjaya, 2004). SDM yang profesional harus mempunyai pendidikan dan keahlian serta memiliki motivasi, kompetensi dan komitmen kerja yang baik (Muninjaya, 2004).
2.      Unsur Lingkungan
Unsur lingkungan meliputi kebijakan, organisasi dan manajemen.
3. Unsur Proses
Yang termasuk dalam unsur proses meliputi proses pelayanan baik tindakan medis maupun tindakan non-medis. Tindakan non medis salah satunya adalah penerapan manajemen puskesmas yang merupakan proses dalam rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes, 2012).
Menurut Donabedian ada tiga pendekatan penilaian mutu yaitu :
1.      Input aspek struktur meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan berupa sumber daya manusia, dana dan sarana. Input fokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi, termasuk komitmen, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan.
2.      Proses merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan pasien, meliputi metode atau tata cara pelayanan kesehatan dan pelaksanaan fungsi manajemen.
3.      Output aspek keluaran adalah mutu pelayanan yang diberikan melalui tindakan dokter, perawat yang dapat dirasakan oleh pasien dan memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan yang diharapkan pasien.

Prinsip Penting dalam Perbaikan Mutu
1.      Kesetiaan dan Kepuasan Pelanggan
Prinsip utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah kepedulian terhadap pelanggan. Pasien sebagai pelanggan eksternal tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan luaran (outcome) pelayan, tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses pelayanan. Berangkat dari pelayanan yang peduli pada pelanggan, yakni pelayanan yang memerhatikan kebutuhan (needs), harapan (expectation) pelanggan, dan penilaian manfaat (value) oleh pelanggan sebagai persyaratan yang diajukan oleh pelanggan, upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja perlu merujuk pada trilogi persyaratan pelanggan tersebut.
Harapan (expectation) dari pelanggan tidak hanya diartikan seperti apa yang diinginkan atau diharapkan akan didapatkan oleh pelanggan, tetapi juga apa yang diharapkan terjadi selama menjalani proses pelayanan dan menikmati produk yang dibeli, yang antara lain tidak akan mengalami kesalahan tindakan medis ataupun kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Hasil pelayanan kesehatan adalah luaran klinis, manfaat yang diperoleh pelanggan, dan pengalaman pelanggan yang berupa kepuasan atau kekecewaan. Pengalaman pelanggan tersebut sangat tergantung pada proses pelayanan pada lini depan atau sistem mikro pelayanan, suatu sistem pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pelanggan (Mahmud, 2008).
2.      Standar Pelayanan Kesehatan
Dalam proses pelayanan kesehatan akan terjadi variasi pelaksanaan kegiatan dari waktu ke waktu yang akan menghasilkan luaran yang bervariasi juga. Salah satu upaya untuk mengurangi variasi proses adalah dengan melakukan standardisasi. Proses standardisasi meliputi penyusunan, penerapan, monitoring, pengendalian, serta evaluasi dan revisi standar. Keberadaan standar dalam pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat, antara lain mengurangi variasi proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Ditetapkannya standar juga akan menjamin keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan kesehatan. Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam pelayanan (Mahmud, 2008).
Dalam upaya menjaga mutu layananan kesehatan agar terus bekesinambungan maka diperlukan suatu proses perbaikan mutu yang bekesinambungan. Upaya perbaikan proses yang berkesinambungan pada sistem mikro pada dasarnya mengikuti siklus Deming: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action), yang dikenal dengan siklus PDCA.
Salah satu model perbaikan pada sistem mikro adalah model Nolan (Langley dkk, 1996 dalam Mahmud, 2008). Nolan memperkenalkan suatu model perbaikan sistem mikro pelayanan yang pada prinsipnya tidak terlepas dari langkah-langkah proses perbaikan yang meliputi: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action). Akan tetapi, harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai apa yang menjadi sasaran perbaikan sebelum dilakukan perubahan (setting aims), dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan perbaikan (measurement). Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, barulah ditetapkan dan direncanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk siklus PDCA yang multipel.
Pada dasarnya, langkah perbaikan sistem mikro pelayanan model Nolan terdiri dari tujuh langkah, yaitu:
1. Bentuk tim
2. Tetapkan sasaran perbaikan
3. Tentukan pengukuran
4. Pilih perubahan yang perlu dilakukan
5. Uji coba beberapa perubahan dalam skala kecil
6. Implementasikan perubahan
7. Sebarkan ke unit yang lebih luas


2.3. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan di Indonesia dan Irlandia


a.       IRLANDIA
Departemen Kesehatan di Irlandia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kesehatan bangsa. Namun masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, salah satunya adalah re-orientasi sektor kesehatan dengan membentuk kembali perencanaan pelayanan (DOH, 1994). Kualitas/mutu pelayanan yang tinggi dapat memaksimalkan kesehatan dan keuntungan sosial di masa mendatang (Devlin, 1997). Perbaikan kualitas dalam sektor ini telah mengalami perkembangan.  Pengukuran kualitas dilakukan pada sistem perawatan kesehatan di Irlandia. Pengukuran pertama kali dibuat secara eksplisit dalam strategi kesehatan untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas melalui clinical audit dan survei. Dengan demikian, dalam mewujudkan strategi ini, penyedia layanan kesehatan menghadapi tantangan yang besar yaitu merubah organisasi kesehatan agar menjadi lebih responsif.
Manajemen mutu pelayanan kesehatan di Irlandia salah satunya adalah keterlibatan karyawan. Keterlibatan karyawan dalam manajemen mutu pelayanan bertanggung jawab dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pekerjaan dan menuntut partisipasi aktif dalam meningkatkan mutu pelayanan. Keberhasilan pelaksanaan mutu pelayanan sangat tergantung pada perubahan sikap petugas kesehatan dan kegiatannya (Guimaraes, 1996).
Kepatuhan bukanlah aspek yang paling penting akan tetapi diperlukan perubahan budaya yang memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan (Hill, 1991). Perubahan budaya ini berarti harus ada perubahan sikap, komunikasi, keterlibatan karyawan dan komitmen. Dengan demikian, budaya dan sikap dalam organisasi perlu berubah. Crosby (1986) berpendapat bahwa "mengubah pikiran merupakan hal yang paling sulit dalam pekerjaan manajemen ".

b.      INDONESIA
Banyaknya organisasi pelayanan kesehatan yang tersedia ternyata tidak membuat masyarakat Indonesia puas dengan organisasi pelayanan kesehatan tersebut. Ketidakpuasan tersebut disebabkan karena lamanya pelayanan kesehatan yang diberikan, mahalnya biaya, kurang lengkapnya fasilitas yang tersedia dan lain-lain. Selain itu terdapat masyarakat Indonesia yang memilih untuk berobat ke luar negeri. Penelitian pada salah satu rumah sakit menunjukkan bahwa 60,7% pasien rawat jalan menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diterima. Selain itu yang menjadi prioritas utama pasien adalah dimensi keandalan pelayanan rumah sakit (Aminudin, 2007).
Untuk itu ketidakpuasan masyarakat tersebut harus ditindaklanjuti pihak penyedia pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang selanjutnya akan meningkatkan kepuasan masyarakat (pelanggan). Berbagai macam alat yang telah digunakan oleh organisasi pelayanan kesehatan untuk memperbaiki kualitas pelayanan seperti Gugus Kendali Mutu (GKM), Total Quality Management (TQM), akreditasi, dan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9000.
Akreditasi adalah suatu pengakuan kepada rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. Selain dengan akreditasi, saat ini mulai banyak organisasi pelayanan kesehatan yang menerapkan SMM ISO 9000. Pada penelitian Soepojo (2002) yang melakukan perbandingan antara akreditasi rumah sakit di Indonesia dengan akreditasi rumah sakit di Australia, menyatakan bahwa pada instrumen akreditasi rumah sakit di Indonesia belum dikaitkan dengan kepuasan pelanggan. Sedangkan pada SMM ISO 9000, fokus kepada pelanggan dalam arti memperhatikan harapan atau kepuasan pelanggan adalah salah satu prinsipnya. ISO 9000 merupakan suatu SMM yang bersifat global dan diakui internasional serta dapat diterapkan di berbagai jenis organisasi. ISO bukanlah suatu standar produk karena dalam ISO 9000 adalah standar SMM dan bukanlah berisi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa sehingga tidak dapat untuk menginspeksi suatu produk terhadap standar-standar produk (Gasperz, 2003).
Menurut Suardi (2004), terdapat delapan prinsip manajemen mutu dalam ISO 9001:2000 yaitu: 1) Fokus pada pelanggan; 2) Kepemimpinan; 3) Keterlibatan personel; 4) Pendekatan proses; 5) Pendekatan sistem untuk pengelolaan; 6) Peningkatan berkesinambungan; 7) Pembuatan keputusan berdasarkan fakta; 8) Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok.
Banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan penerapan ISO 9000 di organisasi pelayanan kesehatan. Menurut Gasperz (2003), Staines (2000) dan Rissanen (2000), manfaat implementasi ISO 9000 adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan; 2) Meningkatkan image perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar global; 3) Menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh pelanggan karena operasi internal menjadi lebih baik; 4) Menjamin peningkatan mutu secara terus menerus; 5) Mampu untuk melacak jejak atau menelusuri; 6) Sistem pengendalian yang konsisten dan menjamin adanya pemeriksaan ulang secara keseluruhan; 7) Memberikan pelatihan secara sistematik kepada seluruh karyawan dan manajer organisasi melalui prosedur-prosedur dan instruksi yang terdefinisi secara baik; 8) Terjadi perubahan positif dalam hal kultur mutu dari anggota organisasi, karena manajemen dan karyawan terdorong untuk mempertahankan sertifikat ISO.



DAFTAR PUSTAKA


Aminudin, A. 2007. Gambaran Kepuasan Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Bhakti Asih Tangerang. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Azwar, Azrul. 1994. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Lingkaran Pemecahan Masalah). Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. 
Gaspersz, V. 2003. ISO 9001: 2000 and Continual Quality Improvement. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Hasibuan, S.P, Malayu. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: CV Haji Masagung.
Kay, Ennis. 1999. Quality management in Irish health care. International Journal of Health Care Quality Assurance. 12 (6): 232-243.
Laksana, Fajar. 2008. Manajemen Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Machmud, Rizanda. 2008.  Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. II (2).
Maharani, Chatila. 2009. Sistem Manajemen Mutu Iso 9000 Sebagai Alat Peningkatan Kualitas Organisasi Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 5 (1): 40-47.
Mulyadi, Dedy. 2013. Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang. Jurnal Manajemen. Vol.10 No.3.
Muninjaya, A.A. Gde. 2011. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nasution, M.N. 2001. Quality is Free. New York: New American Library. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Soepojo, P. 2002. Benchmarking Sistem Akreditasi Rumah Sakit Oleh Komisi Gabungan Akreditasi Rumah Sakit (Indonesia) dan Australian Council on Healthcare Standards (Australia). Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada.

Suardi, R. 2004. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000: Penerapannya Untuk Mencapai TQM. Jakarta: Penerbit PPM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBANDINGAN TEKNIK OKLUSAL DENGAN TEKNIK MDCT DAN TEKNIK PANORAMIK UNTUK MENUNJANG PEMERIKSAAN IMPAKSI

BAB I PENDAHULUAN   1.1   Latar Belakang Gigi impaksi adalah gigi yang tidak dapat atau tidak akan dapat bererupsi ke dalam posisi fungsional normalnya, karena itu dikategorikan sebagai patologik dan membutuhkan perawatan (Peterson, 2004). Gigi disebut impaksi ketika gigi tersebut gagal untuk bererupsi secara keseluruhan ke dalam kavitas oral dalam jangka waktu perkembangan yang diharapkan dan tidak dapat lagi diharapkan untuk bererupsi. Radiologi kedokteran gigi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang memberikan informasi diagnostik yang berguna dan akan mempengaruhi rencana perawatan, sering kali untuk mencari beberapa tanda atau gejala klinis atau menemukan riwayat pasien yang memerlukan pemeriksaan radiologis. Hingga saat ini dental radiografi menjadi salah satu peralatan penting yang digunakan dalam perawatan kedokteran gigi modern. Teknik radiografi intraoral maupun ekstraoral merupakan prosedur umum yang dilakukan oleh dokter gigi dalam membantu pen...

KONSULTASI DAN RUJUKAN

A.     Latar Belakang Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak tidak hanya oleh orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota masyarakat. Untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak upaya yang harus dilaksanakan, diantaranya adalah upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan secara menyeluruh oleh dokter keluarga. Namun, dalam pelaksanaannya pelayanan kedokteran keluarga terhadap pasien harus disesu ai kan dengan kemampuannya. Apabila menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dapat ditanggulangi, dokter keluarga harus melakukan konsultasi maupun rujukan. Adakalanya cukup dengan melakukan konsultasi kepada dokter lain yang lebih ahli pada bidang tertentu, tetapi kadang perlu langsung merujuknya agar memperoleh penanganan dokter ahli tersebut sesuai kewenangannya. Konsultasi adalah upaya meminta bantuan profesional penanganan suatu kasus tertentu yang sedang ditangani oleh seorang...