2.1
Pengertian Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut Malayu S.P.Hasibuan (2008) manajemen
merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Menurut Andrew F. Sikula (dalam buku Malayu S.P.Hasibuan, 2008) manajemen
pada umumnya dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian,
pengendalian, penempatan, pengarahan, pemotivasian, komunikasi dan pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi dengan tujuan untuk mengkoordinasikan
berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sehingga akan dihasilkan
suatu produk atau jasa secara efisien.
Menurut Kotler (dalam buku Fajar Laksana, 2008)
pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu
pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikannya apapun produksinya dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak
lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan
apapun.
Manajemen mutu merupakan sistem manajemen yang berfokus pada
orang/karyawan dan bertujuan untuk terus-menerus meningkatkan nilai yang
diberikan pada pelanggan dengan biaya pencipataan nilai yang lebih rendah (Mulyadi, 2013).
Pelayanan kesehatan
yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai
jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk,
serta yang penyelenggaranya sesuai dengan standar kode etik profesi yang telah
ditetapkan (Azrul Azwar,1996 dalam Mulyadi, 2013).
Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan
masyarakat atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar
profesi yang baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif
dalam keterbatasan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan norma dan
etika yang baik. Menurut Kemenkes RI (dalam buku A.A. Gde Muninjaya, 2011 : 19)
mutu pelayanan kesehatan yang meliputi kinerja yang menunjukan tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat menimbulkan kepuasan
bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga sesuai dengan
standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.
Komponen utama dalam manajemen mutu pelayanan (Goetsch dan Davis, 1994 : 14-18)
(dalam buku M.N Nasution, 2001), sebagai berikut :
1.
Fokus pada pelanggan
Dalam manajemen mutu
pelayanan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal merupakan driver (penentu).
Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan
kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan
kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk dan
jasa.
2.
Obsesi terhadap kualitas
Dalam organisasi
yang menerapkan manajemen
mutu pelayanan, pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas. Dengan
kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi
atau melebihi apa yang ditentukan mereka. Hal ini berarti bahwa semua karyawan
pada setiap level berusaha melaksanakan setiap aspek pekerjaannya berdasarkan
perspektif.
3.
Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah
sangat diperlukan dalam penerapan manajemen mutu pelayanan, terutama untuk mendesain pekerjaan dan
dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan
pekerjaan yang didesain tersebut. Dengan demikian data yang diperlukan dan
dipergunakan dalam menyusun patok duga (bench-mark)
memantai prestasi dan melaksanakan perbaikan.
4.
Komitmen Jangka Panjang
Manjemen mutu pelayanan merupakan suatu
paradigma baru dalam melaksanakan bisnis, untuk itu dibutuhkan budaya
perusahaan yang baru pula. Oleh karena itu, komitmen jangka panjang sangat
penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan manajemen mutu
pelayanan dapat berjalan dengan sukses.
5.
Kerjasama Tim (Team Work)
Dalam organisasi
yang dikelola secara tradisional sering kali diciptakan persaingan antar departemen yang ada dalam organisasi
tersebut agar daya saingnya terdongkrak. Akan tetapi, persaingan internal
tersebut cenderung hanya menggunakan dan menghabiskan energi yang seharusnya
dipusaktkan pada upaya perbaikan kualitas, yang pada gilirannya untuk
meningkatkan daya saing perusahaan pada lingkungan eksternal. Sementara itu
dalam organisasi yang menerapkan manajemen mutu pelayanan, kerja sama tim,
kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina, baik antar karyawan perusahaan
maupun dengan pemasok, lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sekitarnya.
6.
Perbaikan Sistem secara berkesinambungan
Setiap produk dan
atau jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses – proses tertentu didalam suatu
sistem / lingkungan. Oleh karena itu, sistem yang ada perlu diperbaiki secara
terus menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat.
7.
Pendidikan dan Pelatihan
Dewasa ini masih
terdapat perusahaan yang menutup mata terhadap pentingnya pendidikan dan
pelatihan karyawan. Mereka beranggapan bahwa perusahaan bukanlah sekolah yang
diperlukan adalah tenaga terampil siap pakai. Jadi, perusahaan-perusahaan
seperti itu hanya akan memberikan pelatihan sekedarnya kepada para karyawannya.
Kondisi seperti itu menyebabkan perusahaan yang bersangkutan tidak berkembang
dan sulit bersaing dengan perusahaan lainnya apalagi dalam era persaingan
global. Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap
orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku
prinsip bahwa belajar merupakan proses yang tidak ada akhirnya dan tidak
mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat
meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
8.
Kebebasan yang Terkendali
Dalam keterlibatan
dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat
penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan ‘rasa memiliki’
dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu,
unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan
yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak. Meskipun demikian,
kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pembedayaan tersebut merupakan
hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. Pengendalian
itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode pelaksanaan setiap proses
tertentu. Dalam hal ini karyawan melakukan standardisasi proses dan mereka pula
yang berusaha mencari cara untuk menyakinkan setiap orang agar bersedia
mengikuti prosedur standar tersebut.
9.
Kesatuan Tujuan
Agar Manajemen mutu
pelayanan dapat diterapkan dengan baik, maka perusahaan harus memiliki kesatuan
tujuan. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama.
Akan tetapi kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus selalu ada
persetujuan/kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan, misalnya mengenai
upah dan kondisi kerja.
10.
Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan manajemen mutu
pelayanan. Usaha untuk melibatkan karyawan membawa 2 manfaat utama. Pertama,
hal ini akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik,
rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup
pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan
situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan ‘rasa memiliki’
dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus
melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan, tetapi juga
melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang berarti. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah dengan menyusun pekerjaan yang memungkinkan para
karyawan untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan proses pekerjaannya dalam
parameter yang ditetapkan dengan jelas.
2.2
Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan
kesehatan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang berikut:
1.
Sudut pandang pasien dan masyarakat
Kualitas
pelayanan berarti suatu rasa empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya.
2.
Sudut pandang petugas kesehatan
Kualitas
pelayanan berarti melakukan segala sesuatu yang tepat untuk meningkatkan
derajat kesehatan pasien dan masyarakat.
3.
Sudut pandang manajer atau administrator
Kualitas
pelayanan berarti apabila memiliki tenaga professional yang berkualitas dan
cukup.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan menurut Azwar, 1994) adalah unsur
masukan, lingkungan dan proses.
1.
Unsur Masukan
Unsur
masukan meliputi sumber daya manusia, dana dan sarana. Jika sumber daya manusia
dan sarana tidak sesuai dengan standar dan kebutuhan, maka pelayanan kesehatan
akan kurang bermutu. Upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan diperlukan sumber
daya manusia yang profesional (SDM) dan peningkatan fasilitas kesehatan
(Muninjaya, 2004). SDM yang profesional harus mempunyai pendidikan dan keahlian
serta memiliki motivasi, kompetensi dan komitmen kerja yang baik (Muninjaya,
2004).
2.
Unsur Lingkungan
Unsur lingkungan
meliputi kebijakan, organisasi dan manajemen.
3. Unsur Proses
Yang
termasuk dalam unsur proses meliputi proses pelayanan baik tindakan medis
maupun tindakan non-medis. Tindakan non medis salah satunya adalah penerapan
manajemen puskesmas yang merupakan proses dalam rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes,
2012).
Menurut Donabedian ada
tiga pendekatan penilaian mutu yaitu :
1.
Input aspek struktur meliputi segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan berupa sumber daya
manusia, dana dan sarana. Input fokus pada sistem yang dipersiapkan dalam
organisasi, termasuk komitmen, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana
fasilitas dimana pelayanan diberikan.
2.
Proses merupakan semua kegiatan yang
dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan
tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan pasien, meliputi metode atau tata
cara pelayanan kesehatan dan pelaksanaan fungsi manajemen.
3.
Output aspek keluaran adalah mutu
pelayanan yang diberikan melalui tindakan dokter, perawat yang dapat dirasakan
oleh pasien dan memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan
yang diharapkan pasien.
Prinsip Penting dalam Perbaikan Mutu
1. Kesetiaan
dan Kepuasan Pelanggan
Prinsip utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanan
kesehatan adalah kepedulian terhadap pelanggan. Pasien sebagai pelanggan eksternal
tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan
luaran (outcome) pelayan, tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia
diperlakukan dalam proses pelayanan. Berangkat dari pelayanan yang peduli pada
pelanggan, yakni pelayanan yang memerhatikan kebutuhan (needs), harapan
(expectation) pelanggan, dan penilaian manfaat (value) oleh pelanggan
sebagai persyaratan yang diajukan oleh pelanggan, upaya untuk memperbaiki mutu
dan kinerja perlu merujuk pada trilogi persyaratan pelanggan tersebut.
Harapan (expectation) dari pelanggan tidak
hanya diartikan seperti apa yang diinginkan atau diharapkan akan didapatkan
oleh pelanggan, tetapi juga apa yang diharapkan terjadi selama menjalani proses
pelayanan dan menikmati produk yang dibeli, yang antara lain tidak akan mengalami
kesalahan tindakan medis ataupun kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Hasil
pelayanan kesehatan adalah luaran klinis, manfaat yang diperoleh pelanggan, dan
pengalaman pelanggan yang berupa kepuasan atau kekecewaan. Pengalaman pelanggan
tersebut sangat tergantung pada proses pelayanan pada lini depan atau sistem
mikro pelayanan, suatu sistem pelayanan yang bersentuhan langsung dengan
pelanggan (Mahmud, 2008).
2. Standar
Pelayanan Kesehatan
Dalam proses pelayanan kesehatan akan terjadi variasi
pelaksanaan kegiatan dari waktu ke waktu yang akan menghasilkan luaran yang
bervariasi juga. Salah satu upaya untuk mengurangi variasi proses adalah dengan
melakukan standardisasi. Proses standardisasi meliputi penyusunan, penerapan, monitoring,
pengendalian, serta evaluasi dan revisi standar. Keberadaan standar dalam
pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat, antara lain mengurangi variasi proses,
merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Ditetapkannya
standar juga akan menjamin keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan
kesehatan. Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan konsistensi
pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan
efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam pelayanan (Mahmud,
2008).
Dalam upaya menjaga mutu layananan kesehatan agar
terus bekesinambungan maka diperlukan suatu proses perbaikan mutu yang
bekesinambungan. Upaya perbaikan proses yang berkesinambungan pada sistem mikro
pada dasarnya mengikuti siklus Deming: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do),
Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action),
yang dikenal dengan siklus PDCA.
Salah satu model perbaikan pada sistem mikro adalah model
Nolan (Langley dkk, 1996 dalam Mahmud, 2008). Nolan memperkenalkan suatu model
perbaikan sistem mikro pelayanan yang pada prinsipnya tidak terlepas dari
langkah-langkah proses perbaikan yang meliputi: Perencanaan (Plan),
Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya
(Action). Akan tetapi, harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai apa
yang menjadi sasaran perbaikan sebelum dilakukan perubahan (setting aims),
dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan
menghasilkan perbaikan (measurement). Setelah menetapkan sasaran
perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, barulah ditetapkan dan
direncanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan
dalam bentuk siklus PDCA yang multipel.
Pada
dasarnya, langkah perbaikan sistem mikro pelayanan model Nolan terdiri dari
tujuh langkah, yaitu:
1.
Bentuk tim
2.
Tetapkan sasaran perbaikan
3.
Tentukan pengukuran
4.
Pilih perubahan yang perlu dilakukan
5.
Uji coba beberapa perubahan dalam skala kecil
6.
Implementasikan perubahan
7.
Sebarkan ke unit yang lebih luas
2.3. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan
di Indonesia dan Irlandia
a. IRLANDIA
Departemen Kesehatan di
Irlandia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kesehatan
bangsa. Namun masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, salah satunya
adalah re-orientasi sektor kesehatan dengan membentuk kembali perencanaan
pelayanan (DOH, 1994). Kualitas/mutu pelayanan yang tinggi dapat
memaksimalkan kesehatan dan keuntungan sosial di masa mendatang (Devlin, 1997).
Perbaikan kualitas dalam sektor ini telah mengalami perkembangan.
Pengukuran kualitas dilakukan pada sistem perawatan kesehatan di
Irlandia. Pengukuran pertama kali dibuat secara eksplisit dalam strategi
kesehatan untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas melalui clinical audit dan
survei. Dengan demikian, dalam mewujudkan strategi ini, penyedia layanan
kesehatan menghadapi tantangan yang besar yaitu merubah organisasi kesehatan
agar menjadi lebih responsif.
Manajemen mutu pelayanan
kesehatan di Irlandia salah satunya adalah keterlibatan karyawan. Keterlibatan
karyawan dalam manajemen mutu pelayanan bertanggung jawab dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas pekerjaan dan menuntut partisipasi aktif dalam
meningkatkan mutu pelayanan. Keberhasilan pelaksanaan mutu pelayanan sangat
tergantung pada perubahan sikap petugas kesehatan dan kegiatannya (Guimaraes,
1996).
Kepatuhan bukanlah aspek
yang paling penting akan tetapi diperlukan perubahan budaya yang memiliki
keterlibatan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan (Hill, 1991).
Perubahan budaya ini berarti harus ada perubahan sikap, komunikasi,
keterlibatan karyawan dan komitmen. Dengan demikian, budaya dan sikap dalam
organisasi perlu berubah. Crosby (1986) berpendapat bahwa "mengubah
pikiran merupakan hal yang paling sulit dalam pekerjaan manajemen ".
b. INDONESIA
Banyaknya organisasi pelayanan kesehatan yang tersedia
ternyata tidak membuat masyarakat Indonesia puas dengan organisasi pelayanan
kesehatan tersebut. Ketidakpuasan tersebut disebabkan karena lamanya pelayanan
kesehatan yang diberikan, mahalnya biaya, kurang lengkapnya fasilitas yang
tersedia dan lain-lain. Selain itu terdapat masyarakat Indonesia yang memilih
untuk berobat ke luar negeri. Penelitian pada salah satu rumah sakit
menunjukkan bahwa 60,7% pasien rawat jalan menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan
yang diterima. Selain itu yang menjadi prioritas utama pasien adalah dimensi
keandalan pelayanan rumah sakit (Aminudin, 2007).
Untuk itu ketidakpuasan masyarakat tersebut harus
ditindaklanjuti pihak penyedia pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang selanjutnya akan meningkatkan kepuasan
masyarakat (pelanggan). Berbagai macam alat yang telah digunakan oleh
organisasi pelayanan kesehatan untuk memperbaiki kualitas pelayanan seperti
Gugus Kendali Mutu (GKM), Total Quality Management (TQM), akreditasi, dan
Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9000.
Akreditasi adalah suatu pengakuan kepada rumah sakit yang
memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. Selain dengan akreditasi,
saat ini mulai banyak organisasi pelayanan kesehatan yang menerapkan SMM ISO
9000. Pada penelitian Soepojo (2002) yang melakukan perbandingan antara
akreditasi rumah sakit di Indonesia dengan akreditasi rumah sakit di Australia,
menyatakan bahwa pada instrumen akreditasi rumah sakit di Indonesia belum
dikaitkan dengan kepuasan pelanggan. Sedangkan pada SMM ISO 9000, fokus kepada
pelanggan dalam arti memperhatikan harapan atau kepuasan pelanggan adalah salah
satu prinsipnya. ISO 9000 merupakan suatu SMM yang bersifat global dan diakui
internasional serta dapat diterapkan di berbagai jenis organisasi. ISO bukanlah
suatu standar produk karena dalam ISO 9000 adalah standar SMM dan bukanlah
berisi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa
sehingga tidak dapat untuk menginspeksi suatu produk terhadap standar-standar
produk (Gasperz, 2003).
Menurut Suardi (2004), terdapat delapan prinsip manajemen
mutu dalam ISO 9001:2000 yaitu: 1) Fokus pada pelanggan; 2) Kepemimpinan; 3)
Keterlibatan personel; 4) Pendekatan proses; 5) Pendekatan sistem untuk
pengelolaan; 6) Peningkatan berkesinambungan; 7) Pembuatan keputusan
berdasarkan fakta; 8) Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok.
Banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan penerapan ISO 9000
di organisasi pelayanan kesehatan. Menurut Gasperz (2003), Staines (2000) dan
Rissanen (2000), manfaat implementasi ISO 9000 adalah sebagai berikut: 1)
Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan; 2) Meningkatkan image
perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar global; 3) Menghemat biaya dan
mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh pelanggan karena operasi internal
menjadi lebih baik; 4) Menjamin peningkatan mutu secara terus menerus; 5) Mampu
untuk melacak jejak atau menelusuri; 6) Sistem pengendalian yang konsisten dan
menjamin adanya pemeriksaan ulang secara keseluruhan; 7) Memberikan pelatihan
secara sistematik kepada seluruh karyawan dan manajer organisasi melalui prosedur-prosedur
dan instruksi yang terdefinisi secara baik; 8) Terjadi perubahan positif dalam
hal kultur mutu dari anggota organisasi, karena manajemen dan karyawan terdorong
untuk mempertahankan sertifikat ISO.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminudin,
A. 2007. Gambaran Kepuasan Pasien Rawat
Jalan Rumah Sakit Bhakti Asih Tangerang. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Azwar,
Azrul. 1994. Program Menjaga Mutu
Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Lingkaran Pemecahan Masalah).
Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Gaspersz,
V. 2003. ISO 9001: 2000 and Continual
Quality Improvement. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Hasibuan, S.P, Malayu. 2008. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta: CV Haji Masagung.
Kay, Ennis. 1999. Quality management in Irish health
care. International Journal of Health
Care Quality Assurance. 12 (6): 232-243.
Laksana, Fajar. 2008. Manajemen
Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Machmud, Rizanda. 2008. Manajemen
Mutu Pelayanan Kesehatan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. II (2).
Maharani,
Chatila. 2009. Sistem Manajemen Mutu
Iso 9000 Sebagai Alat Peningkatan Kualitas Organisasi Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 5
(1): 40-47.
Mulyadi, Dedy. 2013. Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam
Karawang. Jurnal Manajemen.
Vol.10 No.3.
Muninjaya, A.A. Gde. 2011. Manajemen Mutu
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Nasution,
M.N. 2001. Quality is Free. New York:
New American Library. Manajemen Mutu
Terpadu (Total Quality Management). Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Soepojo,
P. 2002. Benchmarking Sistem Akreditasi Rumah
Sakit Oleh Komisi Gabungan Akreditasi Rumah Sakit (Indonesia) dan Australian Council
on Healthcare Standards (Australia). Tesis. Yogyakarta: Program
Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada.
Suardi,
R. 2004. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000:
Penerapannya Untuk Mencapai TQM. Jakarta: Penerbit PPM
Komentar
Posting Komentar